5 Jebakan High Performer Saat Jadi Leader |#119
Dan solusi practical yang bisa lo coba
Hi buddy
Beberapa waktu lalu, gue ngobrol dengan seorang teman yang baru aja naik jadi manager.
Sebelumnya dia dikenal sebagai high performer, cepat, teliti, dan hasil kerjanya nyaris selalu sempurna.
Tapi setelah beberapa bulan jadi leader, dia ngerasa burnout. Timnya pun mulai pasif, beberapa bahkan udah ogah-ogahan kerja.
Dia bilang,
“Gue kira, kalau gue kerja keras dan kasih contoh yang baik, tim bakal ikut. Tapi kok malah jadi begini ya?”
Dan ternyata...
Itu bukan cerita satu atau dua orang. Banyak high performer mengalami hal yang sama ketika transisi jadi leader.
Kenapa?
Karena jadi leader itu bukan soal “seberapa hebat lo kerja sendirian” tapi seberapa bisa kita memberdayakan orang lain.
Di bawah ini, ada 5 jebakan yang sering terjadi saat high performer naik jadi leader.
Gue share lengkap dengan contoh konkret dan langkah praktis buat ngatasinnya.
5 Jebakan High Performer Ketika Jadi Leader
1. Ekspektasi Terlalu Tinggi terhadap Tim
Banyak high performer terbiasa ngerjain tugas cepat dan hasilnya sempurna.
Ketika jadi leader, mereka bawa standar itu dan berharap tim juga bisa langsung deliver hasil A+.
Akhirnya, begitu ada hasil kerja yang menurut mereka “biasa aja”, mereka kecewa.
Sementara anggota tim jadi takut ambil inisiatif dan malah overthinking sebelum mulai ngerjain apa pun.
3 langkah praktis:
Bedakan tugas rutin vs strategis. Tidak semua pekerjaan butuh hasil level premium. Good enough untuk tugas rutin itu sudah efisien.
Ucapkan: “Terima kasih, ini progress yang bagus.” Beri pengakuan dulu, evaluasi kemudian.
Tunjukkan contoh. Simpan satu-dua hasil kerja yang menurut kita standar “oke”, ini bisa bantu tim kalibrasi kualitas.
2. Sulit Mendelegasikan
Masih banyak leader baru yang mikir:
“Kalau gue yang kerjain, pasti lebih cepat dan hasilnya lebih bagus.”
Akhirnya kerjaan teknis diambil semua. Tim gak berkembang. Leader sendiri kehabisan tenaga.
Dan lebih parahnya, kalau ada kesalahan, yang disalahin tetap tim padahal gak pernah dikasih kepercayaan buat belajar.
3 langkah praktis:
Mulai dari tugas yang risikonya kecil. Kasi ke tim, meski hasilnya belum sempurna.
Beri struktur, bukan hanya perintah. Sertakan konteks, SOP, contoh, atau template ketika mendelegasikan.
Tahan keinginan buat 'turun tangan langsung'. Latih diri kita buat jadi fasilitator, bukan tukang beresin.
3. Cepat Frustrasi saat Progress Tim Lambat
High performer terbiasa gerak cepat.
Ketika tim progress-nya lebih lambat, mereka mulai ngerasa kesal:
“Ini tugas gampang banget, kenapa lama banget selesainya?”
Padahal, bukan soal niat.
Kadang anggota tim butuh waktu memahami konteks atau baru pertama kali ngerjain jenis tugas tertentu.
3 langkah praktis:
Tanyakan alih-alih menilai. Ubah pertanyaan dari “Kenapa belum kelar?” jadi “Ada kendala yang bisa gue bantu?”
Breakdown task jadi lebih kecil. Kalau kerjaan terasa besar, bantu tim buat pecah jadi bagian-bagian kecil yang bisa dilacak progressnya.
Berikan estimasi waktu realistis. Tambahkan buffer dan diskusikan timeline bareng tim. Jangan cuma pakai standar pribadi kita.
4. Menuntut Semua Anggota Tim Berkontribusi Setara
Ada anggapan keliru bahwa “tim ideal” itu semua anggotanya equally strong.
Padahal kenyataannya, tiap orang punya kekuatan dan gaya kerja yang beda.
Kalau lo paksa semua orang buat “kontribusi besar yang setara”, bisa-bisa lo kehilangan kontribusi unik mereka.
Misalnya, yang sebenarnya kuat di observasi dan eksekusi malah dipaksa untuk terus brainstorming ide, padahal bukan zona nyamannya.
3 langkah praktis:
Kenali kekuatan individu. Ajak 1-on-1 untuk diskusi kekuatan dan preferensi kerja mereka.
Rotasi peran dengan sadar. Boleh kasih tantangan baru, tapi tetap imbangi dengan peran yang sesuai kekuatannya.
Apresiasi kontribusi berbeda. Misal: “Gue suka cara lo problem solving di masalah kemarin” Itu bikin orang merasa dilihat.
5. Kurang Sabar dalam Mentransfer Skill
High performer sering lupa kalau mereka udah punya pengalaman bertahun-tahun.
Saat ngajarin orang lain, mereka kecewa kenapa orang lain gak langsung "nangkep".
Dampaknya?
Mentoring jadi terburu-buru, feedback-nya datar atau malah bikin minder, dan anggota tim jadi males nanya.
3 langkah praktis:
Jelaskan proses berpikir kita. Jangan cuma bilang “tinggal gini”, tapi ceritain kenapa kita memilih langkah itu.
Beri waktu praktik dan refleksi. Jangan langsung kasih tahu jawabannya. Ajak mereka tebak, eksplor, lalu diskusi bareng.
Ulangi dengan sabar. Proses belajar butuh pengulangan. Makin kita sabar, makin cepat mereka bisa mandiri.
Kalau lo baru naik jadi leader dan ngerasa capek atau frustrasi, bukan berarti lo gagal.
Mungkin lo cuma belum shift mindset individual contributor ke manager atau leader.
Karena jadi leader bukan soal siapa yang paling cepat atau paling pinter. Tapi siapa yang bisa bikin orang-orang di sekelilingnya berkembang dan kompak mencapai target.
PS: Buat lo yang mau jadi leader hebat, jago technical skill aja belum cukup. Lo butuh punya soft skill yang mendukung peran lo.
Gue bahas lengkap ini di buku gue dan kabar baiknya kita udah buka Pre-Order.
Buruan check out di sini biar dapat bonus eksklusifnya. Karena periode dapetin bonus ini TERBATAS.
Interested to learn with me?
Ada beberapa cara untuk belajar lebih dalam sama saya, silakan pilih yang cocok sama kebutuhanmu.
Corporate Workshop Program
Sudah ada 60+ organisasi yang mengundang saya untuk memberikan pelatihan di organisasi mereka tentang leadership. Beberapa topik yang sering saya bawakan
Strategic Thinking
Building a High-Performing Team
Professional Communication
Silakan cek detailnya di sini
Self Paced Course
473+ orang yang udah belajar project management dan strategic thinking melalui kelas rekaman yang bisa diakses dimana saja dan kapan saja.
FYI, beberapa peserta kami meminta kantor mereka mereimburse sehingga mereka bisa belajar secara gratis. Siapa tahu kantor kamu juga menawarkan benefit yang serupa.
Silakan cek detailnya di sini
Content of The Week
LinkedIn - High performer vs Gila kerja
Apakah kita udah beneran produktif? Atau pura-pura sibuk dan cuma gila kerja. Kadang yang kebiasaan yang kita pikir sudah baik, ternyata justru toxic. Di sini gue share perbedaan keduanya dan pertanyaan yang bantu lo lebih produktif.
X - 8 Ciri pilihan karier lo udah tepat
Bukan berarti happy setiap saat atau cuma ngerjain passion. Tapi kalo lo merasakan tanda-tanda ini, lo ada di jalur yang tepat. Cek 8 tanda di post ini dan hitung berapa yang lo alami di pekerjaan sekarang.
Instagram - 10 Kebiasaan yang bikin lo jadi leader yang nyebelin
Kadang, kita merasa udah jadi leader yang baik. Tapi tanpa sadar melakukan kebiasaan buruk ini. Gue share ya, biar bisa jadi bahan refleksi.
Tiktok - Pelajaran berharga dari project lintas departemen yang bikin gue stres berat
Project ini bikin gue stres sampai momen pengen nyerah. Tapi juga jadi turning point penting di karier gue. Dari sini, gue belajar cara efektif buat ngajak orang berubah tanpa bikin mereka ngerasa dipaksa.